Di era 2000-an, ada berapa film aksi martial arts? Jawabannya hampir
tidak ada, sampai seorang Gareth Evans, sutradara asal Inggris, kemudian
menggemparkan kemonotonan dunia sinema kita dengan menghadirkan sebuah
sajian layar lebar bernafas silat, Merantau 2009 silam. Pada saat itu
Merantau menjadi penawar kedahagaan atas sebuah film hiburan alternatif
di tengah gempuran tema serupa yang dianggap para beberapa sineas kita
sebagai jalan aman, sehingga luput lah genre aksi/laga yang memang tak
bisa digarap dengan mudah kalau tak mau dibilang main-main, dari gagasan
mereka. Evans yang sebelumnya menggarap documentary tentang beladiri
pencak silat bersama aktris kawakan Christine Hakim, lalu tertarik
membuat feature bertajuk Merantau bersamaan ditemukannya aktor laga masa
depan Indonesia Iko Uwais, yang agaknya akan menjadi sebuah proyek
berkepanjangan di mana pencak silat mutlak menjadi racikan utama kelak
di film-filmnya. Dan sejak 2011, ketertarikannya terhadap silat kembali
dituangkan dalam proyek Serbuan Maut yang pelan-pelan tapi pasti sudah
menarik perhatian bahkan jauh sebelum pada akhirnya film yang kemudian
berubah judul menjadi The Raid ini, premiere dan beroleh penghargaan
People’s Choice Award di Toronto International Film Festival. Dan
setelah khatam dari Merantau yang konvensional, kali ini Evans siap
memberi angin baru pencak silat dengan kombinasi gore dan perang
singkat. Bersiaplah!
Sekelompok polisi (mirip Densus 88 atau SWAT) siap menggerebek sebuah
gedung yang menjadi tempat persembunyian bandar narkoba, Tama (Ray
Sahetapy). Dipimpin Sersan Jaka (Joe Taslim), kesatuan tim yang akan
menangkap buron nomor satu ini juga beranggota junior, Rama (Iko Uwais)
yang akan menjadi highlight sepanjang film beraksi, terkait misi
pribadinya dengan salah satu tangan kanan Tama, Andi (Donny Alamsyah).
Sementara kepercayaan Tama lainnya, Mat Dog (Yayan Ruhian) siap
melengkapi sisi gelap dan dan kengerian gedung yang juga menjadi sarang
kriminalis dari serbuan polisi yang disertai Letnan Wahyu (Pierre
Gruno).
Maka, dengan premis simpel itu, jangan kira film ini akan menjadi
ringan dan singkat. Sebagaimana tagline yang dirilis The Raid di sebuah
negara “1 minute of romance, 100 minutes of nonstop carnage”, film yang
berdurasi 101 menit ini benar adanya hanya—seolah memberi penonton
kesempatan menarik nafas panjang di menit pertama film. Seratus menit
selanjutnya hanya ada serbuan, pertarungan, dan pembantaian tak
berkesudahan seperti enggan memberi jedah buat penonton kembali menarik
panjang nafas. Koreo silat plus judo diaksikan dengan cemerlang para
jajaran cast yang memang punya basic seni beladiri. Mulai dari baku
tembak, kontak fisik, dan permainan senjata tajam, darah dan nyawa
menjadi sebuah permainan menarik dan ketegangan utama film yang segera
di-remake Hollywood ini. Gambar-gambar tertata rapih, editing yang
hampir tanpa cacat, dan sound mixing yang kian mapan, membuat The Raid
juara di tehnis efek yang hampir tak kita temui di film Indonesia sejauh
ini. Di samping itu, Evans yang memang sepertinya cinta mati dengan
beladiri silat, menyuguhkan eksekusi aksi dan ritme kekerasan yang
menghentak luar biasa namun enak dilihat.
Sebuah film, cerita memang menjadi pondasi utama. Namun jangan
pungkiri, film adalah sebuah karya kolektif dari berbagai elemen. The
Raid bukan dangkal di penceritaan. Tapi ia bertutur dengan premis
sederhana. Meski ia sederhana, namun maksimal di sisi lainnya yang jelas
sangat relevan mengisi layar tanpa maksud melama-lamakan durasi. Karena
ini lah cerita itu. Sebuah penggrebekan seharian penuh. Sebuah
penyerbuan frontal tanpa lama-lama berdrama. Kalaupun ada, kekurangan
The Raid terletak pada bentuk dialog yang terlampau baku. Sedikit
mengganggu memang. Namun akan terlupakan dengan ganjaran serbuan yang
didapat. Lihat pertarungan sadis antara polisi dan penghuni gedung etnis
Ambon yang benar kenyataannya suku ini mewarnai dunia premanisme
ibukota. Atau klimaksnya duet maut Yayan-Joe yang mematikan dan trio
Iko-Yayan-Donny yang memilukan. Segala aksi silat terlaksanakan dengan
tensi mahadahsyat yang-bahkan membuat aksi bintang laga Thailand, Tony
Jaa selama ini menjadi biasa-biasa saja. Pertarungan demi pertarungan
nyaris terlaksana dengan baik. Dan ini lah dunia Gareth Evans. Kelak, ia
juga pasti memadu-madankan silat dengan unsur aksi lainnya yang
memanjakan mata dengan koreo silatnya, dan menantang adrenalin dengan
kekerasannya. Sungguh, The Raid menjadi sebuah hiburan bermartabat dari
genre yang keberadaannya cuma sekelabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar