Rabu, 28 Maret 2012

The Raid – Kombinasi Pencak Silat dan Perang Kilat

Di era 2000-an, ada berapa film aksi martial arts? Jawabannya hampir tidak ada, sampai seorang Gareth Evans, sutradara asal Inggris, kemudian menggemparkan kemonotonan dunia sinema kita dengan menghadirkan sebuah sajian layar lebar bernafas silat, Merantau 2009 silam. Pada saat itu Merantau menjadi penawar kedahagaan atas sebuah film hiburan alternatif di tengah gempuran tema serupa yang dianggap para beberapa sineas kita sebagai jalan aman, sehingga luput lah genre aksi/laga yang memang tak bisa digarap dengan mudah kalau tak mau dibilang main-main, dari gagasan mereka. Evans yang sebelumnya menggarap documentary tentang beladiri pencak silat bersama aktris kawakan Christine Hakim, lalu tertarik membuat feature bertajuk Merantau bersamaan ditemukannya aktor laga masa depan Indonesia Iko Uwais, yang agaknya akan menjadi sebuah proyek berkepanjangan di mana pencak silat mutlak menjadi racikan utama kelak di film-filmnya. Dan sejak 2011, ketertarikannya terhadap silat kembali dituangkan dalam proyek Serbuan Maut yang pelan-pelan tapi pasti sudah menarik perhatian bahkan jauh sebelum pada akhirnya film yang kemudian berubah judul menjadi The Raid ini, premiere dan beroleh penghargaan People’s Choice Award di Toronto International Film Festival. Dan setelah khatam dari Merantau yang konvensional, kali ini Evans siap memberi angin baru pencak silat dengan kombinasi gore dan perang singkat. Bersiaplah!
Sekelompok polisi (mirip Densus 88 atau SWAT) siap menggerebek sebuah gedung yang menjadi tempat persembunyian bandar narkoba, Tama (Ray Sahetapy). Dipimpin Sersan Jaka (Joe Taslim), kesatuan tim yang akan menangkap buron nomor satu ini juga beranggota junior, Rama (Iko Uwais) yang akan menjadi highlight sepanjang film beraksi, terkait misi pribadinya dengan salah satu tangan kanan Tama, Andi (Donny Alamsyah). Sementara kepercayaan Tama lainnya, Mat Dog (Yayan Ruhian) siap melengkapi sisi gelap dan dan kengerian gedung yang juga menjadi sarang kriminalis dari serbuan polisi yang disertai Letnan Wahyu (Pierre Gruno).
Maka, dengan premis simpel itu, jangan kira film ini akan menjadi ringan dan singkat. Sebagaimana tagline yang dirilis The Raid di sebuah negara “1 minute of romance, 100 minutes of nonstop carnage”, film yang berdurasi 101 menit ini benar adanya hanya—seolah memberi penonton kesempatan menarik nafas panjang di menit pertama film. Seratus menit selanjutnya hanya ada serbuan, pertarungan, dan pembantaian tak berkesudahan seperti enggan memberi jedah buat penonton kembali menarik panjang nafas. Koreo silat plus judo diaksikan dengan cemerlang para jajaran cast yang memang punya basic seni beladiri. Mulai dari baku tembak, kontak fisik, dan permainan senjata tajam, darah dan nyawa menjadi sebuah permainan menarik dan ketegangan utama film yang segera di-remake Hollywood ini. Gambar-gambar tertata rapih, editing yang hampir tanpa cacat, dan sound mixing yang kian mapan, membuat The Raid juara di tehnis efek yang hampir tak kita temui di film Indonesia sejauh ini. Di samping itu, Evans yang memang sepertinya cinta mati dengan beladiri silat, menyuguhkan eksekusi aksi dan ritme kekerasan yang menghentak luar biasa namun enak dilihat.
Sebuah film, cerita memang menjadi pondasi utama. Namun jangan pungkiri, film adalah sebuah karya kolektif dari berbagai elemen. The Raid bukan dangkal di penceritaan. Tapi ia bertutur dengan premis sederhana. Meski ia sederhana, namun maksimal di sisi lainnya yang jelas sangat relevan mengisi layar tanpa maksud melama-lamakan durasi. Karena ini lah cerita itu. Sebuah penggrebekan seharian penuh. Sebuah penyerbuan frontal tanpa lama-lama berdrama. Kalaupun ada, kekurangan The Raid terletak pada bentuk dialog yang terlampau baku. Sedikit mengganggu memang. Namun akan terlupakan dengan ganjaran serbuan yang didapat. Lihat pertarungan sadis antara polisi dan penghuni gedung etnis Ambon yang benar kenyataannya suku ini mewarnai dunia premanisme ibukota. Atau klimaksnya duet maut Yayan-Joe yang mematikan dan trio Iko-Yayan-Donny yang memilukan. Segala aksi silat terlaksanakan dengan tensi mahadahsyat yang-bahkan membuat aksi bintang laga Thailand, Tony Jaa selama ini menjadi biasa-biasa saja. Pertarungan demi pertarungan nyaris terlaksana dengan baik. Dan ini lah dunia Gareth Evans. Kelak, ia juga pasti memadu-madankan silat dengan unsur aksi lainnya yang memanjakan mata dengan koreo silatnya, dan menantang adrenalin dengan kekerasannya. Sungguh, The Raid menjadi sebuah hiburan bermartabat dari genre yang keberadaannya cuma sekelabat.

| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar