Tingginya hanya 167 cm. Tidak terlalu tinggi bagi seorang pemain
sepakbola profesional yang menjalani karir di Eropa. Tetapi, dia
memiliki lari yang kencang dan dribble bola yang menawan. Pemain itu
bernama Yericho Christiantoko. Putra bangsa Indonesia yang bermain bagi
klub CS Vise, Belgia.
Yericho Christiantoko
Yericho bersama dengan Alfian Tuasalamony, Yandy Sofyan Munawar, dan
Syamsir Alam merupakan empat pemain Indonesia yang beruntung bisa
bermain di Eropa. Tempat terbaik untuk mengasah skill bermain sepakbola
sekaligus memiliki industri sepakbola yang maju.
Yericho akrab disapa dengan panggilan “owik”, yang berarti kiwo atau
kidal, merujuk pada kaki kirinya yang memiliki kekuatan luar biasa.
Berposisi sebagai bek kiri, Owik biasa melakukan overlapping ke depan
untuk membantu serangan tim yang dibelanya.
“Saya suka dengan posisi ini dan kebetulan posisinya sama dengan dua
pemain idola saya, Roberto Carlos dan Alexander Pulalo,” ujar Yericho,
pemain kelahiran 14 Januari 1992 ini.
Gaya bermain yang agresif ini sempat membuatnya mendapat perhatian
dari beberapa klub Uruguay. Dia mendapat julukan sebagai Roberto Carlos –
nya Asia berkat aksi impresif tatkala membela Indonesia Futbol Sociedad
Anonima Deportivo (SAD) yang berlaga di liga usia muda Uruguay
sepanjang tahun 2008 hingga 2011.
Meski diminati beberapa klub Uruguay, Yericho memilih menerima
tawaran CS Vise yang kebetulan saat itu telah dibeli Aga Bakrie,
pengusaha asal Indonesia. Pilihan Yericho nampaknya tidak salah. Dia
langsung menjadi bagian dari tim utama CS Vise yang berkompetisi di
divisi dua liga Belgia.
First Team of CS Vise, courtesy of CS Vise
Perjalanan Karir
Sebelum mengenakan kostum nomor punggung 2 di CS Vise, Yericho telah
meniti karir dari sekolah dasar (SD) dan penuh dengan tantangan. Saat
anak – anak lain masih senang – senangnya bermain, Yericho sudah mulai
berlatih menendang bola dengan benar.
“Saya sudah mulai berlatih sepakbola sejak kelas 1 SD,” ujar Yericho,
yang meski lama tinggal di luar negeri tetap suka pecel, rujak, dan
bakso ini. Sejak usia dini, Yericho sudah serius mempersiapkan dirinya
untuk menjadi pemain sepakbola, sesuatu yang amat dicita – citakannya.
Sebagai arek Malang, tak salah jika orang tua Yericho memilihkan akademi
Arema sebagai tempat bagi anaknya untuk menimba ilmu sepakbola. Salah
satu tempat terbaik yang ada di negeri ini.
Berkat kerja keras dan disiplin tinggi bisa dibilang karir Yericho
berjalan dengan mulus. Dirinya bermain untuk tim Jatim U – 15. Setelah
itu, dia tak pernah absen bermain untuk tim nasional di setiap level
usia, U – 16, U – 17, hingga U – 19. Bagi Arema dia juga bermain untuk
tim junior U – 18 dan berhasil memenangkan Piala Medco U – 15 dan Liga
Remaja Nasional Piala Soeratin pada tahun 2007.
Bermain Untuk SAD
Permainan yang ciamik membuat jajaran pemandu bakat PSSI memilihnya
sebagai salah satu pemain muda Indonesia yang akan dikirim ke Uruguay.
Kebijakan mengirim tim SAD ke Uruguay ini sebagai bagian dari program
pembinaan usia dini PSSI. Diharapkan dari tim ini nantinya akan muncul
kerangka tim nasional masa depan Indonesia.
Ujian pertama Yericho dan tim SAD adalah saat menjadi tuan rumah Pra
Piala Asia U – 19 yang dihelat di stadion Si Jalak Harupat, Soreang,
Bandung. Setelah setahun berguru di Uruguay, tim SAD dianggap mampu
berbicara banyak di kancah ini dan mampu meloloskan Indonesia ke Piala
Asia U – 19. Sayang, timnas Garuda muda masih kalah bersaing dengan
Jepang dan Australia.
Walaupun gagal di rumah sendiri, secercah harapan mengemuka terhadap
bakat – bakat brilian tim SAD. Kerjasama tim yang bagus dan mampu
menampilkan permainan menyerang indah membuat harapan rakyat Indonesia
melihat timnas yang kuat bisa terwujud.
Salah satu pemain yang mendapatkan perhatian saat itu adalah Yericho
Christiantoko. Bermain di sisi kiri, Yericho rajin membantu serangan
dengan melakukan tusukan – tusukan yang merepotkan lawan sekaligus
melepaskan umpan terukur untuk santapan Syamsir Alam, Yandy Sofyan,
maupun Alan Martha. Yericho juga beberapa kali mengambil freekick. Meski
tak ada yang menjadi gol, tapi tendangannya cukup akurat dan berhasil
merepotkan penjaga gawang lawan.
Mulai Karir Di Eropa
Setelah empat tahun di Uruguay, tibalah waktunya bagi Yericho untuk
mengasah kemampuan di tempat baru: Belgia, Eropa. Bukan perkara mudah
untuk menjalani karir di tempat baru bagi pemain yang masih berusia
muda. Dan ini juga dirasakan oleh Yericho yang mengakui adanya perbedaan
karakter permainan.
Yericho saat bermain untuk CS Vise
“Dulu saat bermain di Indonesia cirinya keras, cepat dan ngeyel, di
Uruguay tidak jauh beda dengan Indonesia dari segi karakter permainan
walaupun memiliki teknik yang lebih bagus, nah kalau belgia ini sekarang
lebih mengedepankan teknik dan organisasi tim, ketiganya memiliki
karakteristik yang berbeda tetapi bukan masalah dan bagi saya itu baik –
baik saja” terang Yericho mengenai pengalamannya bermain di tiga negara
berbeda.
Baginya bisa bermain di Eropa merupakan anugerah yang amat besar.
Selain itu, juga mendekatkan mimpinya menjadi kenyataan, yakni bermain
untuk SS Lazio. “Mimpi terliar saya adalah bisa bermain untuk Lazio dan
bisa membawa Indonesia ke Piala Dunia,” begitu cerita Yericho soal
mimpinya.
Yericho berada dalam track yang tepat untuk meraih mimpinya. Mulai
setahap demi setahap menjalani karir di Eropa. Mungkin sekarang baru
berlaga di kasta kedua liga Belgia, tetapi suatu saat siapa yang tahu
jika dirinya bisa bermain di ibukota Italia, Roma, kota tempat Lazio
bermarkas. Semakin banyak pemain Indonesia yang mampu bermain di level
tertinggi sepakbola dunia tentu akan memperbesar peluang Indonesia
berlaga di perhelatan Piala Dunia, yang hanya digelar empat tahun
sekali.
Masalah yang mungkin dihadapi oleh Yericho adalah soal kemampuan
adaptasi dan kebugaran. Yericho sempat terkena cedera engkel di CS Vise
dan ini memberi masalah tersendiri bagi dirinya untuk kembali ke
performa terbaik.
Saat bermain bagi timnas U – 23 di Sea Games penampilannya juga tidak
terlalu menjanjikan dan hanya diberi satu kali kesempatan oleh coach
Rachmad Darmawan. Dia mengeluhkan perbedaan karakter di timnas yang
lebih lamban dibanding saat bermain bersama CS Vise. Disamping itu,
dirinya mungkin tak terlalu bugar karena perjalanan jauh dari Belgia ke
Jakarta menguras fisiknya.
Kemampuan adaptasi yang cepat dan bisa segera bugar setelah cedera
maupun jetlag (jika kembali dipanggil timnas) perlu ditingkatkan oleh
Yericho. Jika ini bisa diatasi oleh Yericho rasanya dirinya bisa terus
tampil di form terbaik. Untuk ukuran pemain Indonesia, Yericho sangat
menjanjikan. Dan bisa menjadi salah satu punggawa timnas masa depan.
Jika dia sudah bisa mewujudkan mimpi – mimpinya, ada satu lagi hal
penting yang ingin dia lakukan. Kembali ke Indonesia, untuk bermain di
klub kebanggaan serta klub yang turut andil membesarkan dirinya, Arema
Indonesia. Tentunya setelah usia 30-an, saat dia memutuskan untuk
mengakhiri karirnya di luar negeri.
Budaya yang berbeda di Uruguay dan Belgia, tak mampu mengubah si arek
malang ini untuk tetap menjadi pria sederhana dengan mimpi sederhana,
namun penuh makna dan nilai kecintaan pada asalnya.